_

Tampilkan postingan dengan label Ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Ekonomi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 11 Maret 2012

Financial World Flow




            Saya akan coba menjelaskan sedikit bagaimana alur dan maknanya.
Dimana terdapat Perusahaan A [+] menyimpan uangnya kepada Bank, uang tersebut dapat disimpan di bank berupa :
·         Saving Deposit (Tabungan)
·         Demand Deposit (Giro)
·         Time Deposit (Deposito)
3 macam tersebut Transer of Risk [i1]
            Dan Perusahan B [-] adalah suatu perusahaan yang ingin memulai suatu usaha dengan mencari suatu modal. Modal dapat di dapat dengan berbagai macam cara salah satu contohnya perusahaan B dapat meminjam kepada bank atau langsung meminjam kepada perusaahn A. Tetapi selepas dari itu perusahaan B juga harus melihat segi bunga yang di berikan oleh pemberi modal. Jadi jika i3>i2 maka lebih baik perusahaan B meminjam modal dari Bank, tetapi jika i3<i2 maka lebih baik perusahaan meminjam kepada perusahaan A atau jalur lain, yaitu dari Capital Market (Pasar Modal).
Jika mendapati keadaan dimana Perusahaan A meminjamkan modal melalui Bank kepada perusahaan B dan Perusahaan B tersebut bangkrut atau fail maka Bank lah yang akan menanggung uang perusahaan A  yang di pinjamkan ke bank kepada perusahaan B. Dan jika perusahaan B meminjam langsung kepada perusahaan A atau Pasar Modal maka dengan demikian perusahaan A juga akan mengalami kerugian akibat uang pinjaman yang berada di perusahaan B tidak dapat dikembalikan.
            Tapi Bank pun tidak ingin menanggung uang itu sendirian apabila perusahaan B menjadi bangkrut maka dengan itu bank pun bekerja sama dengan Asuransi ABC, contoh kerja sama yang belaku sebesar 70/30,dan Asuransi pun tidak ingin menanggung uang itu sendiri maka asuransi ABC bekerja sama dengan asuransi DEF sebesar 50/50 kerja sama tersebut biasa di sebut REASURANSI, begitu pula dengan asuransi DEF pun bekerja sama dengan asuransi GHI kerja sama yang dilakukan di sebut dengan RETROCESSI dan kerja sama ini hanya dapat dilakukan pada salah satu asuransi yang ada di luar negeri karena sampai saat ini kerja sama pada asuransi tersebut belum ada di Negara Indonesia.
            Begitu pula dengan sebaliknya Asuransi GHI pun tidak ingin menanggung uang tersebut maka asuransi tersebut membuat beberapa cabang perusahaan seperti contoh cabang A1, A2 dan A3. Perusahaan tersebut bekerja di bidang saham, maka dengan itu asuransi GHI mendapat uang dari bermain saham untuk berjaga-jaga apabila perusahaan B bangkrut.
            Jadi ini cara perputaran uang pada suatu Negara atau biasa disebut Financial World Flow untuk manjaga kondisi kuangan di Negara masing-masing, maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang jelas atau penjelasan yang kurang tepat semoga bermanfaat.

Rabu, 29 Februari 2012

Perkembangan Perbankan 1990 - 2010

Pengertian Perbankan

Menurut Suyatno, (1994). Perbankan adalah suatu badan yang berfungsi sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan. Perbankan didefinisikan juga sebagi suatu badan yang memiliki tugas utama menghimpun dana dari pihak ketiga.

Sedangkan menurut Nopirin (1992) pengertian perbankan yang lain yaitu bank adalah suatu lembaga keuangan yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, keuntungan merupakan selisih antara pendapatan dan biaya. Pendapatan diperoleh dari hasil kegiatan yang berupa pemberian pinjaman dan pembelian surat-surat berharga, sedangkan biayanya berupa pembayaran bunga dan biaya-biaya lain dalam upayanya menarik sumber dana masyarakat.

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Pasal 1 tentang pokok-pokok perbankan adalah, “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Maksud lembaga keuangan menurut undang-undang tersebut adalah semua badan yang kegiatan-kegiatannya dalam bidang keuangan, menarik uang dari dan menyalurkannya ke dalam masyarakat.

Menurut Listfield dan Montes-Negret (1994), sistem pembayaran adalah prosedur, peraturan, standar serta instrumen yang digunakan untuk pertukaran nilai keuangan (financial value) antara dua pihak yang terlibat untuk melepaskan diri dari kewajiban.

Sementara itu, Mishkin (2001) mengungkapkan secarasederhana bahwa sistem pembayaran adalah metode dasar untuk mengaturtransaksi dalam perekonomian.

Dasar hukum dari sistem pembayaran nasional Indonesia adalah KUHD (Kitab Undang Undang Hukum Dagang) dan UU No. 3 tentang Bank Sentral. Lembaga yang melayani jasa pembayaran di lndonesia dapat digolongkan sebagai Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Kondisi dan karakteristik dari masing- masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Bank Indonesia dan Bank-Bank Umum Perbankan Indonesia terdiri dari Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentraldi Indonesia, bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jasapembayaran hanya disediakan oleh BI dan bank umum.

2.      Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) Sejak terjadinya liberalisasi pada sektor keuangan, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) memegang peran penting sebagai salah satu sumber pembiayaan, perusahaan asuransi, dana pensiun dan pegadaian. Sesuai ketentuan peraturan yang berlaku pada saat ini, LKBB dapat pula menyediakan jasa kartu kredit (telah dilakukan oleh beberapa LKBB).
Kegiatan PT POS Indonesia juga terkait dengan penyelenggaran jasa pembayaran, khususnya pada produk “Buku Giro“ untuk pengiriman uang dan penyetoran pajak. Jasa pengiriman uang ini dijalankan sebagai sistem yang mandiri, di luar dari perbankan 
Source : http://www.scribd.com/doc/61112081/9/Pengertian-Perbankan


Perkembangan Perbankan di Indonesia

Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Dampak dari over regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.

Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.

UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.

Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.

Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
Tahun
Kantor Bank Pemerintah
Kantor Bank Swasta

Pusat
Cabang
Pusat
Cabang
1988
7
852
104
876
1989
7
922
141
1656
1990
7
1018
164
2545
1991
7
1044
185
3203
1992
7
1066
201
3341
1993*
7
1066
213
3382
Sumber  : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993

Dari segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indo­nesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada  tahun 1989-90.  Pada tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah.  Pada tahun 1990, jumlah dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen  atau 121.7 persen  dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen menjadi  63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan menimbulkan pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar meningkat tajam sebesar 23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990. Demikian juga tingkat inflasi hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990 dan tetap pada tingkat yang sama pada 1991 (Tabel 2).
Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
Tahun
Deposit
Kredit
Uang Beredar
Inflasi (%)
1988
37.510
44.001
33.885
6.10
1989
54.375
63.606
41.998
5.97
1990
83.154
97.696
58.704
9.53
1991
95.118
113.608
84.630
9.52
1992
114.850
123.689
119.053
4.94
1993*
117.636
124.922
123.161
6.59
Sumber  : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993

Keadaan ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter pada tahun 1990.  Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK).  Pada tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa  dampak peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.

Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :



1.      Bank Negara Indonesia (Persero)
2.      Bank Bumi Daya (Persero)
3.      Bank Rakyat Indonesia (Persero)
4.      Bank Dagang Negara (Persero)
5.      Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
6.      Bank Pembangunan Indonesia (Persero)
7.      Bank Tabungan Negara (Persero).



Dengan telah ditempatkannya semua bank pemerintah sebagai bank umum yang kedudukannya sama dengan bank-bank umum lainnya, serta yang berlandaskan hanya pada satu undang-undang, kebijakan Bank Indonesia yang khusus ditujukan kepada bank pemerintah pada masa yang lalu, sejak saat itu ditiadakan. Perlakuan Bank Indonesia terhadap bank pemerintah baik dalam pemberlakuan ketentuan perbankan maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bank disamakan dengan perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula sebaliknya.
Kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada system bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam syariat (hukum) Islam.

Otoritas pengawasan 1983-1990
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas dalam Undangundang Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990. Dalam Bab I pasal 29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990, peran Bank Indonesia mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan, serta penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank.
Selain dalam pasal-pasal tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7 tentang kegiatan dalam valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai pendiri dan pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi. Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah go public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.

Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997
Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977 gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar upiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter.

Perbankan Indonesia di 2008-2009
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.

Senin, 10 Oktober 2011

Jurnal Perilaku Konsumen


METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dan verifikatif. Penelitian deskriftif bertujuan mendeskripsikan bauran penjualan eceran (retailing mix) pada Ramayana departmentt store Kota Jambi, serta citra Ramayana department store Kota Jambi. Sedangkan penelitian verifikatif bertujuan menguji pengaruh bauran penjualan eceran (retailing mix) terhadap citra Ramayana department store  Kota Jambi. Metode penelitian yang digunakan adalah survey deskriftif dan survey eksplanatory. Unit analisis dalam penelitian ini adalah konsumen Ramayana departmentt storKota Jambi, berukuran 100 responden.

Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Sedangkan sumber data yaitu data primer data skunder.

Teknik Penarikan Sampel
Populasi adalah Keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 1993:102). Dari pendapat tersebut, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah konsumen Ramayana department store Kota Jambi. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh konsumen Ramayana Department Store  Kota Jambi selama periode April hingga September 2007, yang berjumlah 16.859 orang. Mengingat besarnya jumlah populasi, maka peneliti mengambil sampel sebagai responden. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah 100 orang.


Operasional Variabel


Tabel 2. Operasionalisasi Variabel
Variabel

(1)
Sub.
Variabel
(2)
Konsep variabel

(3)
Indikator

(4)
Ukuran

(5)
Skala

(6)
Bauran
Penjualan Eceran (Retailing Mix)
Kombinasi dari lokasi, harga, promosi, display, pelayanan. Konsumen, dan variasi
barang dagangan yang digunakan untuk memuaskan pasar sasaran
Ordinal
Produk/
Barang
Dagangan
Variasi produk
yang ditawarkan baik kualitas, merk dan kemasan
 Kualitas Produk

 Keanekaragam an merk produk

 Kelengkapan produk
 Tingkat kualitas
produk
 Tingkat keanekaragaman produk
 Tingkat kelengkapan produk
Ordinal

Ordinal


Ordinal
Harga
Harga jual
produk yang ditetapkan perusahaan
 Kewajaran harga

 Kesesuaian harga dengan nilai barang
 Tingkat kewajaran
harga
 Tingat kesesuaian dengan nilai barang
Ordinal

Ordinal
Bauran
lokasi
Keputusan
perusahaan berkaitan dengan dimana operasi dan stafnya akan ditempatkan
 Keuntungan lokasi

 Lokasi yang strategis
 Kemudahan sarana transportasi
 Tingkat keuntungan
lokasi
 Tingkat lokasi yang strategis
 Tingkat kemudahan sarana transportasi
Ordinal

Ordinal

Ordinal
Promosi
Unsur promosi
yang dilakukan oleh perusahaan
 Daya tarik iklan

 Daya tarik brosur
 Daya tarik
personal selling

 Daya tarik sales promotion
 Daya tarik
publicity
 Tingkat daya tarik
iklan
 Tingkat daya tarik brosur
 Tingkat daya tarik
personal selling
 Tingkat daya tarik
sales promotion
 Tingkat daya tarik
publicity
Ordinal

Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal

Fasilitas
fisik
Suatu hal yang
secara nyata turut mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli dan menggunakan produk yang ditawarkan
 Ketersediaan
tempat parkir
 Ketersediaan kamar kecil
 Arsitektur dan tata cahaya lampu
   Ketersediaan penitipan barang
 Kebersihan
 Tingkat ketersediaan
tempat parkir
 Tingkat ketersediaan kamar kecil
 Tingkat daya tarik arsitektur
 Tingkat ketersediaan tempat penitipan
 Tingkat kebersihan
Ordinal

Ordinal Ordinal Ordinal Ordinal

Pelayanan
Upaya
perusahaan dalam melaksanakan aktivitas usahanya
 Kemudahan
pembayaran dengan kartu kredit
 Kebijakan mengantar pembeli
 Pelayanan
customer service
 Tingkat kemudahan
pembayaran dengan kartu kredit

 Tingkat kebijakan mengantar pembeli
   Tingkat pelayanan
customer service
Ordinal



Ordinal


Ordinal
Wiraniaga
Aktivitas
karyawan yang melayani dan berhubunagn langsung dengan konsumen
 Keramahan
wiraniaga
 Kesiapan wiraniaga membantu konsumen
 Tingkat keramahan
wiraniaga
 Tingkat kesiapan wiraniaga membantu konsumen
Ordinal

Ordinal
Citra
Departmentt
Store
Brand image is a set of associations, ussualy organized in some miningful way

Reputati
on

 Seberapa kuat
brand perusahaan dikenal oleh konsumen
 Tingkat pengenalan
konsumen terhadap
brand perusahaan
Ordinal

Recogniti on

 tingginya nilai
perusahaan dalam persepsi konsumen
 Tingkat tingginya
nilai perusahaan dalam persepsi konsumen
Ordinal
Affinity

 hubungan
emosional (emational relationship) yang terjadi antara
brand departmentt store dengan
pelanggan
 Tingkat Hubungan
emosional (emational relationship) yang terjadi antara brand departmentt store dengan pelanggan
Ordinal
Brand loyality

 seberapa jauh
kesetiaan konsumen menggunakan jasa/pelayanan perusahaan
 Tingkat kesetiaan
konsumen menggunakan jasa/pelayanan departmentt store
Ordinal









Sumber : Davidson, (1998)

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden
Dari hasil pengolahan data dari kuesioner yang disebarkan, diperoleh karakteristik responden sebagai berikut :

Tabel 3. Jenis Kelamin Responden
Jenis Kelamin
Frekuensi (Orang)
Persentase (%)
Pria
22
22,0
Wanita
88
88,0
Jumlah
100
100
Sumber : Kuesioner Yang Telah Diolah

Dari tabel 3 terlihat bahwa mayoritas responden adalah wanita, sedangkan sisanya adalah pria. Ini menunjukkan bahwa aktivitas berbelanja di Ramayana Department Store Kota Jambi lebih didominasi oleh wanita.