_

Jumat, 02 November 2012

Etika Utilitarisme



Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Dapat dipahami pula utilarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan.
Kita dapat menyimpulkan bahwa utilitarisme aturan membatasi diri dari pada justifikasi aturan-aturan moral. Dengan demikian mereka memang dapat menghindari kesulitan dari utilitarisme perbuatan
Teori ini menjadi terkenal sejak disistematisasikan oleh filsuf Inggris bernama John Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul On Liberty. Sesuai dengan namanya utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis yang artinya “bermanfaat”. Teori ini menekankan pada perbuatan yang menghasilkan manfaat, tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang paling banyak membawa kebahagiaan bagi banyak orang.
Dikaitkan dengan demokrasi tampaknya teori ini erat kaitannya. Dalam pemilihan suara pada Pemilihan Umum (PEMILU) suatu negara yang menganut asas demokrasi, calon presiden dengan suara terbanyak adalah presiden yang memenangkan pemilu. Meski pun perbandingannya hanya 49% dengan 51% tetap saja calon yang memperoleh suara terbanyak akan menang. Demikian pula dengan implementasi utilitarisme
Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini YA.
Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi ras mau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun 1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat.
Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal yang melegakan. Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah angka-angka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat terbanyak.
Teori ini juga dikatakan sebagai konsekuensionalisme karena segala keputusan diambil atas tinjauan konsekuensi. Konsekuensi paling menguntungkan adalah konsekuensi yang akan diambil
Di lain pihak kesulitan itu tidak boleh dilebih-lebihkan. Dalam teori memang sulit sekali memperbandingkan nilai-nilai yang berlainan secara kualitatif. Namun dalam praktek hidup sehari-hari biasanya kita kurang lebih dapat menentukannya, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Dalam praktek hidup sehari-hari kurang lebih kita dapat menentukan mana yang akan membawa akibat baik lebih besar (dalam arti lebih menyenangkan): pergi menonton film, makan sate ayam bersama teman, atau baca-baca di rumah sambil mendengarkan musik yang kita senangi. Mana yang baik dan mana yang buruk (dilihat dari kuantitas dan kualitas rasa senangnya) akan sangat tergantung situasi. Pergi menonton film bisa sangat menyenangkan, tetapi kalau untuk itu harus pergi dengan naik sepeda di tengah hujan lebat ya lebih baik tinggal di rumah untuk baca-baca sambil mendengarkan musik yang kita senangi.


Ciri Umum
Kalau mengingat pengertian di atas, maka ciri umum aliran ini adalah bersifat kritis, rasional, teleologis, dan universal. Utilatarisme sebagai teori etika normatif merupakan suatu teori yang kritis, karena menolak untuk taat terhadap norma-norma atau peraturan moral yang berlaku begitu saja dan sebaliknya menuntut agar diperlihatkan mengapa sesuatu itu tidak boleh atau diwajibkan. Teori etika ini tidak mengakui abahwa ada tindakan-tindakan yang pada dirinya sendiri wajib untuk dilakukan atau yang pada dirinya sendiri dilarang. Pada dirinya sendiri semua tindakan ataupun peraturan itu netral. Yang memberi nilai moral kepada tindakan-tindakan atau peraturan tersebut adalah akibat-akibatnya. Sebagai contoh misalnya, para penganut aliran ini tidak dapat menerima bahwa hubungan seks di luar perkawinan itu bagaimanapun juga pada dirinya sendiri tidak pernah dapat dibenarkan secara moral. Mereka akan bertanya, mengapa tidak boleh melakukan hubungan seks di luar perkawinan; mereka menuntut agar diberikan alasan-alasan yang masuk akal. Karena tuntutan ini, Utilitarisme juga berciri umum rasional. Bagi kaum Utilitarian, hubungan seks di luar perkawinan itu secara moral tidak dapat dibenarkan baru kalau ada alasan yang masuk akal, yakni bila setelah dipertimbangkan, dalam kenyataan, akibat-akibat buruk dari hubungan seks di luar perkawinan lebih banyak daripada akibat baiknya. Akan tetapi kalau setelah dipertimbangkan ternyata bahwa akibat baik dari hubungan seks di luar perkawinan itu lebih banyak daripada akibat buruknya, maka, menurut kaum Utilitarian, hubungan seks di luar perkawinan justru wajib dilaksanakan.
Karena sifat kritis dan rasional yang seperti itu, Utilitarisme dalam kalangan etika tradisional dialami sebagai kritik yang membahayakan. Daripada menerima aturan-aturan tradisional begitu saja, Utilitarisme menuntut agar peraturan-peraturan yang ada dipertang-gungjawabkan berdasarkan manfaatnya bagi banyak orang, dan apabila pertanggungjawaban itu tidak dapat dilakukan, peraturan tersebut supaya dilepaskan saja.
Utilitarisme juga bersifat teleologis, karena benar-salahnya suatu tindakan secara moral dikaitkan dengan tujuan (telos) yang mau dicapai atau dengan memperhitungkan apakah akibat baik tindakan tersebut lebih banyak daripada akibat buruknya. Hal ini berbeda sekali dengan etika normatif yang bersifat deontologis. Seperti masihh akan kita lihat kemudian, bagi para penganut etika deontologis ada tindakan-tindakan tertentu yang pada dirinya sendiri tidak pernah dapat dibenarkan secara moral, entah apa pun akibat tindakan tersebut. Bagi mereka norma-norma moral selalu wajib diataati begitu saja tanpa mempertimbangkan apakah akibatnya menguntungkan atau merugikan. Dalam kasus di atas, bagi para penganut etika deontologis, melakukan hubungan seks di luar perkawinan bagaimanapun juga secara moral tidak pernah dapat dibenarkan. Mereka secara prinsipial menolak bahwa tujuan menentukan kualitas moral, maka tidak dapat dipersoalkan lagi dari segi akibat tindakan.
Utilitarisme juga bersifat universal dalam arti teori etika ini memperhatikan kepentingan umum dan bukan hanya kepentingan pribadi si pelaku moral sebagaimana dikemukakan oleh Egoisme Etis. Dibandingkan dengan Egoisme Etis maupun Etika Pengembangan Diri Aristoteles yang masih belum bebas dari ciri egoistik, Utilitarisme menekankan agar pertimbangan mengenai akibat baik atau manfaat yang akan diperoleh dari suatu pilihan tindakan itu, sedapat mungkin, sejauh dapat diperhitungkan, memperhatikan semua orang yang terlibat dalam tindakan tersebut atau terkenai olehnya. Suatu
tindakan secara moral benar dan wajib dilakukan kalau akibat tindakan tersebut membawa keuntungan yang semakin besar bagi semakin banyak orang (the greatest good to the greatest number). Dengan demikian Utilitarisme mengatasi egoisme dan membenarkan sikap-sikap sosial. Utilitarisme membenarkan bahwa pengorbanan kepentingan atau nikmatnya sendiri demi orang lain dapat merupakan tindakan yang paling tinggi nilai moralnya.
Berkaitan dengan tekanan pada memperhatikan kepentingan umum dan membenarkan adanya pengorbanan kepentingan dan nikmat pribadi demi kepentingan dan nikmat orang banyak, Utilitarisme sebagai dasar berargumentasi seringkalai, sadar atau tidak sadar, dijadikan acuan dalam banyak pengambilan kebijakan sosial-politik. Kalau kita melakukan alanisis sosial untuk mengkaji mengapa pemerintah memutuskan untuk menggusur sebuah perkampungan demi pembuatan jalan atau demi pengaturan tata kota dan pembangan kawasan bisnis, alasan yang dikemukakan biasanya bersifat utilitarian. Kerugian yang diderita oleh sekelompok orang yang terkena penggusuran dapat dibenarkan demi keuntungan bagi semakin banyak orang. Karena prinsip utilitarian banyak digunakan dalam pengambilan kebijakan soail-politik dan dalam kehidupan bersama sehari-hari, maka kiranya baik bahwa prinsip ini kita analisis secara cermat dan kita tanggapi secara kritis.
3. Macam
Biasanya dibedakan dua macam teori etika normatif Utilitarisme, yakni Utilitarisme Tindakan dan Utilitarisme Peraturan.
a. Utilitarisme Tindakan
Utilitarisme sebagaimana lazimnya dipahami adalah Utilitarisme Tindakan. Kaidah dasarnya dapat dirumuskan sebagai berikut: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga setiap tindakanmu itu menghasilkan akibat-akibat baik yang lebih besar di dunia daripada akibat buruknya". Bagi penganut aliran ini, pertanyaan pokok yang perlu diajukan dalam mempertimbangkan suatu tindakan tertentu adalah: "Apakah tindakanku yang tertentu ini, pada situasi seperti ini, kalau memperhatikan semua pihak yang tersangkut, akan membawa akibat baik yang lebih besar daripada akibat buruknya?" Bagi Utilitarisme Tindakan tidak ada peraturan umum yang dengan sendirinya berlaku; setiap tindakan mesti dipertimbangkan akibatnya.
Utilitarisme Tindakan sudah banyak dikritik dan hampir tidak ada yang membelanya lagi. Alasanyannya adalah: dalam praktek orang tidak setiap kali membuat pertimbangan baru untuk melihat akibat-akibat dari setiap tindakan. Sulit dibayangkan bahwa orang dapat hidup tanpa peraturan sama sekali. Setiap pernyataan moral mengandung unsur bahwa pada prinsipnya dapat berlaku untuk tindakan-tindakan lain yang sejenis walaupun akibatnya mungkin tidak persis sama. Utilitarisme tindakan dengan mudah dapat dipakai untuk membenarkan tindakan yang melanggar hukum dengan alasan bahwa akibatnya membawa keuntungan bagi lebih banyak orang daripada akibat buruknya. Misalnya berdasarkan prinsip itu seseorang dapat dibenarkan untuk mencuri satu kaleng roti dari supermarket Hero untuk diberikan kepada beberapa orang gelandangan yang kelaparan. Kalau hanya memperhitungkan akibatnya, kerugian yang diderita oleh supermarket Hero akan tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan memberi makan pada beberapa orang gelandangan yang kelaparan.
Selain itu, seperti pernah ditunjukkan oleh Ross dan Butler,[1] kalau hanya akibat dari tindakan saja yang diperhitungkan tanpa memperhitungkan apakah sesuai atau tidak dengan peraturan atau norma yang berlaku, maka orang akan sampai pada suatu kesimpulan yang aneh. Sebagai contoh, misalnya tindakan A membawa akibat yang persis sama dengan tindakan B. Akan tetapi tindakan B melibatkan suatu pelanggaran peraturan (misalnya dengan berlaku tidak adil atau tidak jujur), sedangkan yang A tidak. Kalau dasar pertimbangannya hanya berdasarkan akibat dari tindakan saja, padahal akibat tindakan A persis sama dengan tindakan B, maka logis orang secara moral bebas memilih A atau B. Dalam praktek sudah jelas bahwa tindakan A lah yang benar dan B salah.
b. Utilitarisme Peraturan
Untuk mengatasi kelemahan pokok di atas, maka kemudian dikembangkanlah macam etika Utilitarian yang kedua, yakni Utilitarisme Peraturan. Dalam teori ini yang diperhitungkan bukan lagi akibat baik dan buruk dari masing-masing tindakan sendiri, melainkan dari peraturan umum yang mendasari tindakan itu. Jadi yang dipersoalkan sekarang adalah akibat-akibat baik dan buruk dari suatu peraturan kalau berlaku umum. Kaidah dasarnya sekarang berbunyi: "Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penerapannya menghasilkan akibat baik yang lebih besar di dunia ini daripada akibat buruknya."
Kalau kaidah ini diterapkan pada kasus pencurian satu kaleng roti di supermarket Hero tadi menjadi nyata bahwa tindakan itu tidak dapat dibenarkan secara moral. Hal ini menjadi jelas dari kenyataan bahwa pernyataan "Mengambil barang dari toko besar tanpa bayar boleh dilakukan asal untuk orang miskin" tidak dapat kita jadikan sebagai kaidah atau peraturan yang berlaku umum. Sebab kalau pernyataan itu kita jadikan kaidah yang berlaku umum, dapat dipastikan bahwa akibat buruknya justru lebih besar daripada akibat baiknya. Demikianlah Utilitarisme Peraturan jauh lebih keras dan lebih dapat diterima daripada Utilitarisme Tindakan.
4. Tanggapan kritis
a. Kesulitan menentukan nilai suatu akibat
Karena Utilitarisme mengkaitkan moralitas suatu tindakan dengan jumlah akibat baik yang melebihi akibat buruknya, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana nilai suatu akibat itu dapat ditentukan. Pertanyaan ini harus dapat dijawab kalau kaidah utilitarisme mau dipakai. Kalau kita mau memakai kelebihan akibat baik terhadap akibat buruk sebagai tolok ukur moral, maka kita harus tahu apa arti "lebih besar" dalam hubungan dengan nilai. Bagaimana cara menghitung lebih besarnya akibat-akibat baik atau buruk? Kalau kita membatasi diri pada pembandingan akibat tindakan dari segi nilai kenikmatan (hedonistik) saja rupanya perbandingan kuantitas sudah menghadapi kesulitan. Rasa nikmat ada bermacam-macam dan sulit dibandingkan: kenikmatan karena memuaskan nafsu makan, nafsu seks, nafsu marah, nafsu balas dendam; kenikmatan tidur, kenikmatan merokok, naik gunung, berenang dsb. Kesulitan menjadi lebih besar lagi kalau masih harus membandingkan besar-kecilnya akibat baik dan akibat buruk yang ditimbulkannya. Sebagai contoh misalnya, sulit sekali untuk menentukan mana dari kemungkinan tindakan berikut yang paling besar membawa  kenikmatan sebagai akibatnya: pergi menonton film, makan sate ayam bersama teman, baca-baca sambil mendengarkan musik yang kita senangi, mendengarkan siaran wayang sambil main gaple?
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, Jeremy Bentham (1748-1832), seorang tokoh Utilitarian yang hedonis dari Inggris, misalnya mencoba untuk memperhitungkan "nilai senang: dari pelbagi kegiatan manusia guna dapat diperbandingkan jumlahnya satu sama lain. Ia mengemukan ada tujuh dimensi yang perlu diperhatikan dalam perhitungan (hedonic calculus) tersebut, yakni intensitasnya, lamanya berlangsung, kepastiannya, kedekatannya dengan kecondongan pribadi, kesuburannya, kemurniannya, dan keluasannya. Hasil perhitungan semacam itu tidak meyakinkan. Maka tokoh Utilitarian lain, John Stuart Mill (1806-1873) dalam karangannya yang terkenal Utilitarianism (yang pertama-tama merumuskan teori Utilitarisme secara khusus) mengakui bahwa usaha semacam itu tidak dapat berhasil. Ia memasukkan unsur baru ke dalam perhitungan, yaitu unsur "kualitas" di samping unsur "kuantitas". Akan tetapi, dengan berbuat demikian suatu "perhitungan" tepat tentang jumlah akibat baik dan akibat buruk menjadi sama sekali tidak mungkin lagi.
Di lain pihak kesulitan itu tidak boleh dilebih-lebihkan. Dalam teori memang sulit sekali memperbandingkan nilai-nilai yang berlainan secara kualitatif. Namun dalam praktek hidup sehari-hari biasanya kita kurang lebih dapat menentukannya, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Dalam praktek hidup sehari-hari kurang lebih kita dapat menentukan mana yang akan membawa akibat baik lebih besar (dalam arti lebih menyenangkan): pergi menonton film, makan sate ayam bersama teman, atau baca-baca di rumah sambil mendengarkan musik yang kita senangi. Mana yang baik dan mana yang buruk (dilihat dari kuantitas dan kualitas rasa senangnya) akan sangat tergantung situasi. Pergi menonton film bisa sangat menyenangkan, tetapi kalau untuk itu harus pergi dengan naik sepeda di tengah hujan lebat ya lebih baik tinggal di rumah untuk baca-baca sambil mendengarkan musik yang kita senangi.
c. Bertentangan dengan prinsip keadilan
Keberatan paling pokok yang biasa dikemukakan terhadap teori etika Utilitarisme adalah bahwa kaidah dasar yang dikemukakan oleh teori tersebut dapat bertentangan dengan prinsip keadilan. Keberatan ini adalah keberatan yang secara kritis dapat dikemukakan terhadap penentuan kebijakan pemerintah atau penguasa yang mengambil prinsip atau kaidah utilitarian sebagai pokok acuan untuk berargumentasi. Sebagai contoh misalnya dalam suatu proyek pembuatan jalan tol, keluarga Sukri terkena gusur. Ia tidak mau membongkar rumahnya dan berpindah tempat karena ia merasa diperlakukan tidak adil. Uang ganti rugi yang ia peroleh jauh dari mencukupi untuk dapat membeli rumah yang kurang lebih sama di tempat lain. Ia juga merasa jengkel karena ini sudah kedua kalinya ia terkena gusur. Dulu sebelum membeli tanah dan membangun rumah di tempat itu ia sudah bertanya pada dinas tatakota tentang rencana pembangunan kota, dan ia mendapat jawaban bahwa daerah itu aman. Ternyata, baru beberapa tahun sudah ada perubahan.
Setelah perundingan yang alot, akhirnya pemerintah daerah memberikan ultimatum pada Sukri bahwa bagaimanapun juga proyek harus jalan, dan kalau pada tanggal tertentu Sukri dan keluarganya tidak pindah, maka rumahnya akan dibuldozer dengan paksa. Dalam membela tindakannya, pihak pemda selalu menyatakan bahwa Sukri terlalu mendahulukan kepentingannya sendiri dan tidak mempedulikan kepentingan umum. Pemda sebenarnya tidak mau merugikan Sukri, tetapi tidak ada jalan lain. Sukri semestinya sadar bahwa kerugian yang dia tanggung tidaklah seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang akan dapat dinikmati oleh orang banyak dengan adanya jalan tol di daerah itu.
Berdasarkan prinsip Utilitarian, penalaran aparat pemda di atas logis dan dapat dibenarkan. Akan tetapi prinsip tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan, karena menurut prinsip keadilan setiap manusia sebagai seorang pribadi (persona) itu bernilai dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri. Manusia sebagai seorang pribadi tidak pernah boleh dikorbankan demi manusia lain. Ia mempunyai hak asasi yang sama dengan manusia lain. Ini berarti bahwa dalam kasus di atas, Sukri sebagai seorang pribadi mempunyai hak-hak asasi yang harus dihormati pula oleh pihak pemda. Menjadikan dia dan keluarganya sebagai "tumbal" yang harus dikorbankan demi kesejahteraan banyak orang lain, secara moral tidak dapat diterima.
Tidak memadainya prinsip Utilitarian sebagai prinsip moral karena bertentangan dengan prinsip keadilan juga nampak dalam kasus lain sebagai berikut: Menjelang Pemilu biasanya situasi agak rawan dan adanya "gang" atau kelompok-kelompok "gali" yang merampok dan membuat kerusuhan akan mudah ditunggangi oleh mereka yang sengaja mau mengacaukan keadaan. Maka demi menjaga ketenangan masyarakat dan mengamankan Pemilu diadakanlah operasi penertiban keamanan masyarakat. Orang-orang yang dicurigai sebagai "gali" dan perusuh langsung diculik dan dijebloskan ke dalam penjara atau malah ada yang secara misterius hilang dan tahu-tahu sudah diketemukan sebagai mayat di suatu tempat. Operasi tersebut secara pragmatik-utilitarian sepertinya menguntungkan bagi masyarakat. Banyak anggota masyarakat merasa senang karena mereka tidak diganggu lagi oleh para "gali" tersebut. Yang dirugikan hanyalah orang-orang yang dituduh ataupun dicap sebagai "gali".Apa yang secara pragmatik-utilitarian nampaknya menguntungkan banyak orang itu sebenarnya secara moral tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan prinsip keadilan. Orang yang dituduh "gali" pun adalah manusia yang memiliki hak-hak asasi yang tidak dapat dilanggar begitu saja. Kendati jumlah mereka relatif sedikit dibandingkan dengan keseluruhan penduduk, dan di antara mereka memang mungkin ada yang sungguh-sungguh jahat, secara hukum mereka memiliki hak yang disebut "praduga tak bersalah", artinya sebelum terbukti melalui proses pengadilan bahwa seseorang itu bersalah, orang tidak boleh langsung menjatuhkan hukuman kepada mereka; apalagi hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatan mereka. Bahwa banyak orang diuntungkan oleh tindakan menghukum orang-orang itu, secara moral tidak dengan sendirinya membenarkan tindakan tersebut. Tambahan pula, secara hukum pun tindakan macam itu dalam jangka panjang dapat merugikan, karena kepastian hukum lalu digoyahkan. Masyarakat akan dicengkam oleh rasa takut terhadap kesewenangan penguasa yang sepertinya dapat bertindak di luar jalur hukum bila dipertimbangkan bahwa kepentingan umum menuntutnya.

Etika Pasar Bebas


4EA15

KELOMPOK 11

HERRY ROCKY
TRIYO PUTRA PAMUNGKAS
PRATOMO IRFAN SANTOSO

BAB 1
PENDAHULUAN


1.                  LATAR BELAKANG

Di dunia ini banyak terdapat negara – negara yang saling berhubungan. Keterhubungan antarnegara ini salahsatu faktornya melalui perdagangan. Dan ini menjadikan negara – negara yang ada di dunia menjadi satu komunitas ekonomi besar. Jenis perdagangan yang dilakukan oleh para investor secara bebas di seluruh dunia disebut perdagangan bebas.

Dengan adanya perdagangan bebas, diharapkan interaksi antarnegara dalam perdagangan menjadi lebih intensif tanpa harus dibatasi. Melalui perdagangan bebas, tidak ada lagi hambatan yang dibuat oleh suatu negara dalam melakukan transaksi perdagangan dengan negara lainnya. Negara – negara di dunia yang terlibat langsung dalam perdagangan bebas mempunyai hak untuk menjual produk atau jasa terhadap negara lain tanpa harus dibebani oleh batasan – batasan.

Prinsip kerjasama antarnegara menjadi satu landasan kuat yang menjadikan system perdagangan bebas di pangsa pasar dianggap mampu menguntungkan negara maju dan berkembang tanpa adanya hambatan berupa politik dagang seperti monopoli global.

Di dalam melakukan perdagang bebas, pelakunya tidak bisa melakukan hal yang semena-mena seperti halnya dari kata bebas itu sendiri. Tetapi terdapat etika ataupun batasan yang harus dilakukan dari hubungan perdagangan bebas antarnegara tersebut. Maka dibuatlah makalah ini untuk menjelaskan hal – hal dari etika pasar bebas.













BAB 2
PEMBAHASAN


Keuntungan Moral Pasar Bebas

1.  Sistem ekonomi pasar bebas menjamin keadilan melalui jaminan perlakuan yang sama dan fair bagi semua pelaku ekonomi.
2. Ada aturan yang jelas dan fair, dan karena itu etis. Aturan ini diberlakukan juga secara fair,transparan,konsekuen, dan objektif. Maka, semua pihak secara objektif tunduk dan dapat merujuknya secara terbuka.
3.      Pasar member peluanyang optimal, kendati belum sempurna, bagi persaingan bebas yang sehat dan fair.
4.  Dari segi pemerataan ekonomi, pada tingkat pertama ekonomi pasar jauh lebih mampu menjamin pertumbuhan ekonomi.
5.      Pasar juga memberi peluang yang optimal bagi terwujudnya kebebasan manusia.

Sistem ekonomi yang berlaku pada pasar yang bebas menjamin keadilan dengan jaminan perlakuan yang sama bagi bagi seluruh pelaku ekonomi ini memang menjadi satu sistem yang baik walau beberapa negara tetap memberikan proteksi kepada beberapa produk andalan negerinya. Kalau tidak ada proteksi, dikhawatirkan rakyat akan semakin menderita. Aturan di dalam pasar bebas dilakukan secara transparan dan objektif. Dalam beberapa hal, kondisi ini memang berlaku dan sangat ketat.

Masyarakat semakin cerdas dan mereka tidak peduli satu produk berasal dari mana, yang penting produk itu murah tapi berkualitas. pemerintah terkadang juga mencoba menghadang tumbuhkembangnya satu produk yang lebih baik dari satu negara demi pertumbuhan produk yang sama dari dalam negri walaupun kualitasnya kurang. Pasar bebas member peluang yang optimal serta persaingan bebas yang sehat dan wajar. pasar yang bebas akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi. asalkan ia mempunyai produk yang bagus dengan pelayanan dan harga yang bersaing, ia juga bisa ikut dalam pertempuran di gelanggang pasar yang bebas. pasar bebas dapat memberikan peluang optimal untuk mewujudkan kebebasan manusia. hal ini juga menyebabkan begitu banyak orang mendorong terwujudnya pada pasar seperti ini.
 
­Kebijakan Pemerintah Terhadap “Pasar Perdagangan Bebas”

Dalam perdagangan internasional atau perdagangan bebas, suatu kebijakan dari pihak pemerintah perlu diberlakukan untuk tercapainya suatu pertumbuhan ekonomi dan stabilitas yang selalu berarah positif, disini ada beberapa kebijakan dari pemerintah dalam perdagangan international atau perdagangan bebas.

1. Bea Cukai
2. Pajak
3. Tarif
4. Quota
5. Penunjukan Importir
6. Subtitusi Impor

Alasan diadakannya perdagangan International atau perdagangan Bebas yaitu :
1.      Teori Klasik yang membahas tentang suatu keungulan absolut yang dikemukakan oleh Adam Smith, serta tentang efisiensi, ongkos produksi yang dikemukakan oleh David Ricardo.

2.      Teori Modern yang menyatakan faktor produksi pada modal dan jumlah tenaga kerja yang banyak.

Beberapa kebijakan dalam mengatur laju ekspor, yaitu dengan cara :
1.      Diversifikasi
a.       Memperluas Pangsa pasar.
b.      Perbaikan mutu.
c.       Menambah jenis barang.
2.      Devaluasi yaitu kebijakan dalam hal menurunkan nilai mata uang.
3.      Subsidi + Premi Ekspor.
4.      Kestabilan harga harga didalam negeri.

Oleh : Rahmat Hidayatullah. Dewasa ini, masyarakat Indonesia masih mengalami kebingungan mengenai kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tentang Perdagangan Bebas. Kebijakan ini seperti dua sisi mata koin, di satu sisi menguntungkan. Negara untuk membuka lapangan pekerjaan baru bagi para pengangguran di Indonesia yang jumlahnya tergolong masih besar, di sisi lain secara tidak langsung, pemerintah mengabaikan kesejahteraan rakyat di banyak sektor, terutama sektor usaha kecil menengah, dan pertanian. Berdasarkan data dari pusat statistik Indonesia (BPS), Angka kemiskinan di Indonesia mencapai 35 juta orang atau 13,33 persen dari jumlah penduduk yang mencapai sekitar 237 juta jiwa, sedangkan Bank Dunia melaporkan kemiskinan di Indonesia masih berkisar sekitar 100 juta.

Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada Harmonized Commodity Description and Coding System (HS) dengan ketentuan dari World Customs Organization yang berpusat di Brussels, Belgium. penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya.

Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual – individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

Perdagangan internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.

Contohnya untuk usaha kecil dan menengah dibidang tekstil, dimana untuk daerah China, Hongkong ataupun Taiwan mengimpor barang ke Indonesia dengan harga yang sangat murah, karena di Negara mereka, proses produksi dilakukan dengan cara massal, sehingga dapat menekan biaya produksi.Hal hal seperti ini menyebabkan rakyat Indonesia belum siap untuk menghadapi situasi perdagangan bebas ini. Belum lagi kemampuan Negara Negara seperti China dan Hong Kong melihat kondisi pasar di Indonesia yang cenderung sangat konsumtif, dalam artian lebih mementingkan model daripada kualitas bahan.

Kebijaksanaan di Bidang Impor :

·     Kebijakan mengenai tarif bea masuk komoditi: Keputusan Menteri Keuangan No. 60/KMK.01/2002  s/d/ No. 100/KMK.01/2002. Bea masuk untuk garment ditetapkan antara 15% s/d 20%.

·       Kebijakan mengenai barang yang diatur tataniaganya: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 642/MPP/Kep/9/2002. Impor gombal baru dan bekas (Ex. 6310.90.000) yang sebelumnya boleh diimpor oleh importir umum limbah (IU Limbah) menjadi dilarang sama sekali.

Kebijakan di bidang impor dan ekspor juga masih diarahkan untuk melindungi industri garment tersebut, antara lain dengan mengenakan bea masuk yang cukup tinggi terhadap produk impor (antara 15% – 20%), melarang impor gombal baru maupun bekas dan memberi kemudahan ekspor bagi produsen yang berniat mengekspor produknya. Mengingat produk garment adalah produk yang dikenakan kuota oleh beberapa negara importir maka pemerintah, melalui serangkaian kebijakan, berusaha mengatur agar kuota ekspor tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.

Kebijaksanaan di Bidang Ekspor :

·  Kebijakan mengenai ketentuan umum di bidang ekspor: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 575/MPP/Kep/VIII/2002. Tekstil dan Produk Tekstil (Ex HS 4202, 5001s/d 6310, Ex 6405), khusus untuk ekspor tujuan negara kuota (Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Norwegia dan Turki) termasuk ke dalam barang yang diatur ekspornya.

·   Kebijakan mengenai kuota: Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor : 311/Mpp/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Kuota Ekspor Tekstil Dan Produk Tekstil. Seperti diketahui, beberapa negara importir menerapkan sistem kuota untuk impor tekstil dan produk tekstil mereka. Untuk itu Pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai kuota dan manajemen kuota yang transparan agar pemanfaatan kuota lebih optimal, memberi kemudahan serta lebih memberi kepastian bagi dunia usaha.

Kebijakan Kuota
Dalam perdagangan internasional, penerapan kuota TPT oleh beberapa negara tertentu dianggap membantu memperluas perdagangan global. Hal ini karena negara eksportir secara lama kelamaan akan kehabisan kuota, yang akan mendorong para buyer untuk mencari negara baru yang belum memperoleh hambatan kuota. Dengan semakin meningkatnya ekspor, negara produsen baru tersebut lambat laun akan dikenai kuota juga. Hal ini akan mendorong para buyer untuk mencari negara baru lagi yang masih belum terkena kuota.

Bagi pengusaha garment, adanya kebijakan kuota tersebut cenderung merugikan karena mereka harus mendapatkan jatah kuota untuk dapat mengekspor ke negara-negara kuota meskipun mereka telah memperoleh order dari buyer. Hal itu menimbulkan potensi kerugian bagi pengusaha karena sebenarnya mereka mampu memenuhi order tersebut. Potensi kerugian juga dapat timbul karena buyer mengalihkan order ke negara lain karena takut bahwa kuota untuk komoditi yang dipesannya telah terlampaui.
 

Senin, 15 Oktober 2012

Pengertian Etika Bisnis


Pengertian Etika
Etika berasal dari kata Yunani ‘Ethos’ (jamak – ta etha), berarti adat istiadat. Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat. Etika berkaitan dengan nilai-nilai, tatacara hidup yg baik, aturan hidup yang baik dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain.
Moralitas berasal dari kata Latin Mos (jamak – Mores) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Pengertian harfiah dari etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan.
Etika sebagai filsafat moral tidak langsung memberi perintah konkret sebagai pegangan siap pakai. Etika dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai :
1.   Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia
2.   Masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma moral yang umum diterima
Etika sebagai sebuah ilmu yang terutama menitikberatkan refleksi kritis dan rasional. Mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu memang harus dilaksanakan dalam situasi konkret terutama yang dihadapi seseorang, atau Etika mempersoalkan apakah suatu tindakan yang kelihatan bertentangan dengan nilai dan norma moral tertentu harus dianggap sebagai tindakan yang tidak etis dan karena itu dikutuk atau justru sebaliknya apakah dalam situasi konkret yang saya hadapi saya memang harus bertindak sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakatku ataukah justru sebaliknya saya dapat dibenarkan untuk bertindak sebaliknya yang bahkan melawan nilai dan norma moral tertentu.
Etika sebagai Ilmu menuntut orang untuk berperilaku moral secara kritis dan rasional. Dengan menggunakan bahasa Nietzcshe, etika sebagai ilmu menghimbau orang untuk memiliki moralitas tuan dan bukan moralitas hamba. Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggung jawabkan.


Istilah etika memiliki beragam makna berbeda. Ada yang menyebutkan bahwa etika adalah semacam penelaahan, baik aktivitas penelaahan maupun hasil penelaahan itu sendiri. Pendapat lain menyebutkan bahwa etika adalah kajian moralitas. Sedangkan moralitas adalah pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah, atau baik dan jahat.
Meskipun etika berkaitan dengan moralitas, namun tidak sama persis dengan moralitas. Etika merupakan studi standar moral yang tujuan eksplisitnya adalah menentukan standar yang benar atau yang didukung oleh penalaran yang baik, dan dengan demikian etika mencoba mencapai kesimpulan tentang moral yang benar dan salah, dan moral yang baik dan jahat.
Etika bisnis merupakan etika terapan. Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha yang kita sebut bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam system dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa dan diterapkan kepada orang-orang yang ada didalam organisasi.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang, karena :
·         Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
·         Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
·         Melindungi prinsip kebebasan berniaga
·         Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.

Ringkasnya, etika merupakan komponen kunci manajemen yang efektif. Dengan demikian, ada sejumlah argument yang kuat, yang mendukung pandangan bahwa etika hendaknya diterapkan dalam bisnis.


Contoh Kasus PT. PLN Dalam Etika Bisnis

Dalam kasus ini, PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik, yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Akan tetapi tidak diikuti dengan perbuatan atau tindakan yang baik, karena PT. PLN belum mampu memenuhi kebutuhan listrik secara adil dan merata. Jadi menurut teori etika deontologi tidak etis dalam kegiatan usahanya.

Monopoli PT. PLN ditinjau dari teori etika teleologi

Etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang akan dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Dalam kasus ini, monopoli di PT. PLN terbentuk secara tidak langsung dipengaruhi oleh Pasal 33 UUD 1945, dimana pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara untuk kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Maka PT. PLN dinilai etis bila ditinjau dari teori etika teleologi.

Monopoli PT. PLN ditinjau dari teori etika utilitarianisme

Etika utilitarianisme adalah teori etika yang menilai suatu tindakan itu etis apabila bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang. Tindakan PT. PLN bila ditinjau dari teori etika utilitarianisme dinilai tidak etis, karena mereka melakukan monopoli. Sehingga kebutuhan masyarakat akan listrik sangat bergantung pada PT. PLN.
 
source : http://lppcommunity.wordpress.com/2009/01/08/etika-bisnis-monopoli-kasus-pt-perusahaan-listrik-negara/