_

Minggu, 11 Maret 2012

Financial World Flow




            Saya akan coba menjelaskan sedikit bagaimana alur dan maknanya.
Dimana terdapat Perusahaan A [+] menyimpan uangnya kepada Bank, uang tersebut dapat disimpan di bank berupa :
·         Saving Deposit (Tabungan)
·         Demand Deposit (Giro)
·         Time Deposit (Deposito)
3 macam tersebut Transer of Risk [i1]
            Dan Perusahan B [-] adalah suatu perusahaan yang ingin memulai suatu usaha dengan mencari suatu modal. Modal dapat di dapat dengan berbagai macam cara salah satu contohnya perusahaan B dapat meminjam kepada bank atau langsung meminjam kepada perusaahn A. Tetapi selepas dari itu perusahaan B juga harus melihat segi bunga yang di berikan oleh pemberi modal. Jadi jika i3>i2 maka lebih baik perusahaan B meminjam modal dari Bank, tetapi jika i3<i2 maka lebih baik perusahaan meminjam kepada perusahaan A atau jalur lain, yaitu dari Capital Market (Pasar Modal).
Jika mendapati keadaan dimana Perusahaan A meminjamkan modal melalui Bank kepada perusahaan B dan Perusahaan B tersebut bangkrut atau fail maka Bank lah yang akan menanggung uang perusahaan A  yang di pinjamkan ke bank kepada perusahaan B. Dan jika perusahaan B meminjam langsung kepada perusahaan A atau Pasar Modal maka dengan demikian perusahaan A juga akan mengalami kerugian akibat uang pinjaman yang berada di perusahaan B tidak dapat dikembalikan.
            Tapi Bank pun tidak ingin menanggung uang itu sendirian apabila perusahaan B menjadi bangkrut maka dengan itu bank pun bekerja sama dengan Asuransi ABC, contoh kerja sama yang belaku sebesar 70/30,dan Asuransi pun tidak ingin menanggung uang itu sendiri maka asuransi ABC bekerja sama dengan asuransi DEF sebesar 50/50 kerja sama tersebut biasa di sebut REASURANSI, begitu pula dengan asuransi DEF pun bekerja sama dengan asuransi GHI kerja sama yang dilakukan di sebut dengan RETROCESSI dan kerja sama ini hanya dapat dilakukan pada salah satu asuransi yang ada di luar negeri karena sampai saat ini kerja sama pada asuransi tersebut belum ada di Negara Indonesia.
            Begitu pula dengan sebaliknya Asuransi GHI pun tidak ingin menanggung uang tersebut maka asuransi tersebut membuat beberapa cabang perusahaan seperti contoh cabang A1, A2 dan A3. Perusahaan tersebut bekerja di bidang saham, maka dengan itu asuransi GHI mendapat uang dari bermain saham untuk berjaga-jaga apabila perusahaan B bangkrut.
            Jadi ini cara perputaran uang pada suatu Negara atau biasa disebut Financial World Flow untuk manjaga kondisi kuangan di Negara masing-masing, maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang jelas atau penjelasan yang kurang tepat semoga bermanfaat.

Kamis, 08 Maret 2012

Word Order

Apabila kita menggunakan lebih dari satu adjective (kata sifat) maka adjective - adjective tersebut harus digunakan dengan urutan yang benar. Urutan adjective tidak seluruhnya tetap, tetapi urutannya yang umum adalah sebagai berikut:

Determiner-Opini-Ukuran-Usia-Bentuk-Warna-Asal-usul-Material-Kata benda

Determiner adalah kata seperti a, an, the, this, that. Kata-kata ini juga merupakan jenis adjective.

Contoh:
  • a famous, old painting
  • a big, round table
  • an American, cotton shirt
Adjective yang merupakan opini ditempatkan sebelum adjective yang merupakan fakta. Contoh:
  • “A long, dark tunnel” atau “A long dark tunnel” keduanya dapat dipakai.
Dengan dua atau lebih adjective warna, digunakan and. Contoh:
  • She’s got a black and white kitten.

source : http://kursusinggris.wordpress.com/2010/01/30/adjective-word-order-urutan-beberapa-kata-sifat/ 

Command And Regret

Command
The Simple Present Subjunctive was once more extensively used than it is today. In modern American English, the Simple Present Subjunctive is still used in clauses beginning with the word that which express formal commands or requests. In the following examples, the word that is printed in bold type, and the verbs in the Simple Present Subjunctive are underlined.
Example :
They requested that she arrive early.
It is important that they be present at the meeting.
The demand that he provide identification will create a delay.

The main clauses of the preceding examples are they requested, it is important and the demand will create a delay. In the first example, the verb requested is in the Simple Past; in the second example, the verb is is in the Simple Present; and in the third example, the verb will create is in the Simple Future.

As illustrated in these examples, the use of the Simple Present Subjunctive in the subordinate clause of a formal command or request is independent of the tense of the verb in the main clause.

The Simple Present Subjunctive is more commonly used in formal English than in informal English. For instance, the sentence "He advises that you not be late," is an example of formal English. In informal English, the same idea would probably be expressed by the sentence "He advises you not to be late," in which the infinitive is used, rather than a clause requiring the Simple Present Subjunctive.

Wish or a regret
Use of I wish / if only:
There are three distinct types of  I wish / if only  sentences:
  1. Wish, wanting change for the present or future with the simple past.
  2. Regret with the past perfect.
  3. Complaints with would + verb.
Expressing a wish:
Form:
If only / I wish + simple past
Example:
If only I knew how to use a computer. (I don’t know how to use a computer and I would like to learn how to use it)
Use:
·         To express a wish in the present or in the future.
·         The simple past here is an unreal past.
·         When you use the verb to be the form is “were”.
Example:
I wish I were a millionaire!
Expressing regret:
Form:
If only / I wish + past perfect
Example:
If only I had woken up early. (I didn’t wake up early and I missed my bus.)
Use:
·         To express a regret.
·         The action is past.
Complaining:
Form:
I wish / if only + would + verb
Example:
I wish you wouldn't arrive so late all the time (I'm annoyed because you always come late and I want you to arrive on time)
Use:
·         To complain about a behaviour that you disapprove.
·         Expressing impatience, annoyance or dissatisfaction with a present action.

Direct And Indirect Sentences

In this section, We are going to see How the conversion of Direct to Indirect Speech and Indirect to Direct Speech is done?

We may report the words of a speaker in two ways.

1. Direct Speech

We may quote the actual words of the speaker. This method is called Direct Speech.

2. Indirect Speech

We may report what he said without quoting his exact words. This method is called Indirect Speech or Reported Speech.

Example:

• Direct: Clinton said, “I am very busy now.”
• Indirect: Clinton said that he was very busy then.

• Direct : He said, “ my mother is writing letter.”
• Indirect: He said that his mother was writing letter.

How to change Direct to Indirect Speech?

It will be noticed that in Direct Speech, we use inverted commas to mark off the exact words of the speaker.In Indirect Speech we do not use the inverted commas.

It will be further noticed that in changing the above Direct Speech into Indirect speech, certain changes have been made.

Thus:

i. We have used the conjunction ‘that’ before the Indirect Statement.

ii. The pronoun “I” is changed to “HE”. (The Pronoun is changed in Person)

iii. The verb “am” is changed to “was”.

iv. The adverb “now” is changed to “then”.

Rules for changing Direct into Indirect Speech:

A. When the reporting or principal verb is in the Past Tense, all the Present Tenses in the Direct Speech are changed into Past Tense.

a. A simple present tense becomes simple past tense.

Example:

• Direct : He said, “I am unwell.”
• Indirect: He said that he was unwell.

b. A present continuous tense becomes a past continuous.

Example:

• Direct : He said, “ my mother is writing letter.”
• Indirect: He said that his mother was writing letter.

c. A present perfect becomes a past perfect:

Are you clear about the conversion of Direct to Indirect Speech?

Example:

• Direct: He said, “I have passed the examination.”
• Indirect: he said that he had passed the examination.

d. As a rule the simple past tense in the Direct Speech becomes the past perfect tense in Indirect Speech.

Example:

• Direct: He said, “His horse died in the night.”
• Indirect: he said that his horse had died in the night.

source : http://www.english-for-students.com/DirecttoIndirectSpeech.html

Senin, 05 Maret 2012

ADJECTIVE CLAUSE

Sebuah dependent clause biasa nya digunakan sebagai kata sifat dalam suatu kalimat. Juga dikenal sebagai Adjective Clause atau relative clause.
Sebuah Adjective Clause biasanya diawali dengan kata ganti penghubung / relative pronoun (which, that, who, whom, whose), sebuah kata keterangan relative / relative adverb (where, when, why), atau relative nol / zero relative.

Pola Adjective Clause :
relative pronoun or adverb + subject + verb + …
relative pronoun as subject + verb + …

contoh:
Whose big, brown eyes pleaded for another cookie
Whose = relative pronoun; eyes = subject; pleaded = verb.

Why Fred cannot stand sitting across from his sister Melanie
Why = relative adverb; Fred = subject; can stand = verb [not, an adverb, is not officially part of the verb].

That bounced across the kitchen floor
That = relative pronoun functioning as subject; bounced = verb.

Who hiccupped for seven hours afterward
Who = relative pronoun functioning as subject; hiccupped = verb.


Ada dua tipe dasar Adjective Clause :
1.      Nonrestrictive atau Nonessential Adjective Clause. Clause ini hanya memberi informasi tambahan tentang noun / kata benda . Dalam kalimat :
“My older brother's car, which he bought two years ago, has already needed many repairs”.
Adjectice clause pada “which he bought two years ago” adalah nonrestrictive atau tidak penting. Ini menyediakan informasi tambahan.

2.      Restrictive atau essential adjective clause. Menawarkan informasi [penting] dan diperlukan untuk menyelesaikan pemikiran kalimat itu. Dalam kalimat :
“The room that you reserved for the meeting is not ready”.
Adjective clause pada “that you reserved for the meeting” sangat penting karena membatasi yang kamar.

Berdasarkan pada the Antecedent  yang ditunjuk oleh introductory words (kata-kata pendahulunya), Adjective Clause dapat diklasifikasikan menjadi 2 macam, yaitu:

1.    Relative Pronoun
Adalah Adjective Clause dengan memakai kata penghubung Relative Pronoun.
Contoh:

The boy is called Bob. He gave me a present

         The boy who gave me a present is called Bob. atau
         The boy who is called Bob gave me a present.

Beberapa contoh Adjective Clause :

         The boy whose radio was stolen is a student.
         The girl whom I gave a special reward is a bright student
         The bike which I borrowed last week was sold.

2.    Relative Adverb
Pelajaran tentang ini dibahas lebih lengkap pada Relative
Clause. Hal-hal yang perlu ditambahkan di sini,yaitu :

1.      Kata Why (yang menunjukkan alasan) yang menjadi Adverb penghubung, mungkin (kadangkadang) dapat digantikan dengan that atau kadang-kadang dapat dihilangkan dalam kalimat.

         The reason (that) I came should be obvious to you.
         The reason (why) I came should be obvious to you.
         The reason I came should be obvious to you.

2.      When atau Where sering dapat ditukarkan dengan Preposition yang menunjukkan tempat (apreposition of Place) ditambah dengan Which.

         The small town in which (= where) I was born has grown to a large metropolis.
         The day on which (= when) they were to leave finally arrived.

Kadang-kadang that dapat menggantikan where atau when.

         The day that (or when, on which) the trial was to take place was a stormy one.
         Please suggest a good place that (or where) we can meet

Rabu, 29 Februari 2012

Perkembangan Perbankan 1990 - 2010

Pengertian Perbankan

Menurut Suyatno, (1994). Perbankan adalah suatu badan yang berfungsi sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan. Perbankan didefinisikan juga sebagi suatu badan yang memiliki tugas utama menghimpun dana dari pihak ketiga.

Sedangkan menurut Nopirin (1992) pengertian perbankan yang lain yaitu bank adalah suatu lembaga keuangan yang tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, keuntungan merupakan selisih antara pendapatan dan biaya. Pendapatan diperoleh dari hasil kegiatan yang berupa pemberian pinjaman dan pembelian surat-surat berharga, sedangkan biayanya berupa pembayaran bunga dan biaya-biaya lain dalam upayanya menarik sumber dana masyarakat.

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 Pasal 1 tentang pokok-pokok perbankan adalah, “lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”. Maksud lembaga keuangan menurut undang-undang tersebut adalah semua badan yang kegiatan-kegiatannya dalam bidang keuangan, menarik uang dari dan menyalurkannya ke dalam masyarakat.

Menurut Listfield dan Montes-Negret (1994), sistem pembayaran adalah prosedur, peraturan, standar serta instrumen yang digunakan untuk pertukaran nilai keuangan (financial value) antara dua pihak yang terlibat untuk melepaskan diri dari kewajiban.

Sementara itu, Mishkin (2001) mengungkapkan secarasederhana bahwa sistem pembayaran adalah metode dasar untuk mengaturtransaksi dalam perekonomian.

Dasar hukum dari sistem pembayaran nasional Indonesia adalah KUHD (Kitab Undang Undang Hukum Dagang) dan UU No. 3 tentang Bank Sentral. Lembaga yang melayani jasa pembayaran di lndonesia dapat digolongkan sebagai Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Kondisi dan karakteristik dari masing- masing lembaga tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Bank Indonesia dan Bank-Bank Umum Perbankan Indonesia terdiri dari Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentraldi Indonesia, bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jasapembayaran hanya disediakan oleh BI dan bank umum.

2.      Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) Sejak terjadinya liberalisasi pada sektor keuangan, Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) memegang peran penting sebagai salah satu sumber pembiayaan, perusahaan asuransi, dana pensiun dan pegadaian. Sesuai ketentuan peraturan yang berlaku pada saat ini, LKBB dapat pula menyediakan jasa kartu kredit (telah dilakukan oleh beberapa LKBB).
Kegiatan PT POS Indonesia juga terkait dengan penyelenggaran jasa pembayaran, khususnya pada produk “Buku Giro“ untuk pengiriman uang dan penyetoran pajak. Jasa pengiriman uang ini dijalankan sebagai sistem yang mandiri, di luar dari perbankan 
Source : http://www.scribd.com/doc/61112081/9/Pengertian-Perbankan


Perkembangan Perbankan di Indonesia

Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Dampak dari over regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.

Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.

UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.

Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. BI menetapkan suatu program khusus untuk menangani kredit macet dan membentuk Forum Kerjasama dari Gubernur BI, Menteri Keuangan, Kehakiman, Jaksa Agung, Menteri/Ketua Badan Pertahanan Nasional, dan Ketua Badan Penyelesaian Piutang Negara. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan. Hal itu ditakutkan akan mengganggu upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Maka, dikeluarkanlah Pakmei 1993 yang melonggarkan ketentuan kehati-hatian yang sebelumnya ditetapkan dalam Pakfeb 1991. Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sektor properti sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing.
Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Kredit perbankan dalam jumlah besar mengalir deras ke berbagai sektor usaha, terutama properti, meski BI telah berusaha membatasi. Keadaan ekonomi mulai memanas dan inflasi meningkat.

Perkembangan Bank di Indonesia, 1988-1993
Tahun
Kantor Bank Pemerintah
Kantor Bank Swasta

Pusat
Cabang
Pusat
Cabang
1988
7
852
104
876
1989
7
922
141
1656
1990
7
1018
164
2545
1991
7
1044
185
3203
1992
7
1066
201
3341
1993*
7
1066
213
3382
Sumber  : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993

Dari segi penghimpunan dana masyarakat, perbankan Indo­nesia juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi terutama pada  tahun 1989-90.  Pada tahun 1989, jumlah dana yang berhasil dihimpun meningkat 45 persen dibanding tahun sebelumnya, mencapai 54,4 triliun rupiah.  Pada tahun 1990, jumlah dana yang dihimpun mencapai 83,2 triliun, meningkat 52,9 persen  atau 121.7 persen  dari tahun 1988. Hal yang sama juga terjadi pada penyaluran kredit. Pada 1989, kredit yang disalurkan perbankan melonjak 44,5 persen menjadi  63.6 triliun rupiah dan mencapai 97,70 triliun rupiah atau meningkat 122.0 persen pada 1990. Pelonggaran sistem likuiditas tersebut ternyata menyebabkan situasi ekonomi memanas (over heated) dan menimbulkan pengaruh semakin tingginya inflasi. Jumlah uang beredar meningkat tajam sebesar 23,4 persen pada 1989 dan 73,2 persen pada 1990. Demikian juga tingkat inflasi hampir mencapai dua digit 9,5 persen pada 1990 dan tetap pada tingkat yang sama pada 1991 (Tabel 2).
Perkembangan Dana, Kredit, Jumlah, Uang Beredar dan Tingkat Inflasi di Indonesia, 1988-93 (Milyar rupiah)
Tahun
Deposit
Kredit
Uang Beredar
Inflasi (%)
1988
37.510
44.001
33.885
6.10
1989
54.375
63.606
41.998
5.97
1990
83.154
97.696
58.704
9.53
1991
95.118
113.608
84.630
9.52
1992
114.850
123.689
119.053
4.94
1993*
117.636
124.922
123.161
6.59
Sumber  : Statistik Ekonomi-Keuangan Indonesia Bank Indonesia, Juli 1993; * Catatan : sampai Maret 1993

Keadaan ini memaksa pemerintah memberlakukan kebijaksanaan baru dalam bidang moneter pada tahun 1990.  Paket Deregulasi Januari 1990 diluncurkan untuk membatasi jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia dan mengharuskan bank-bank membagi 20 persen dari kreditnya kepada kredit usaha kecil (KUK).  Pada tahun yang sama juga, dengan terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan uang ketat (Tight Money Policy) serta menarik dana milik BUMN dari beberapa bank untuk mendinginkan suku perekonomian dalam negeri.
Di samping itu juga pemerintah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik dana dari masyarakat. Meningkatnya suku bunga SBI tersebut membawa  dampak peningkatan suku bunga perbankan lainnya seperti Surat Berharga Pasar Uang dan Interbank Call Money. Pada tahun 1989 terjadi peningkatan tajam tingkat bunga SBI dari 15,15 persen menjadi 19,88 persen, tingkat bunga SBPU dari 17,00 persen menjadi 20,84 persen dan tingkat bunga interbank dari 12,57 persen menjadi 21,53 persen.

Kondisi Saat Krisis Ekonomi Mulai Akhir Tahun 1990-an
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya. Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait. Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Bertalian dengan ketentuan pasal 54 Undang-undang Perbankan 1992 yang menetapkan bahwa bank pemerintah harus menyesuaikan bentuk hukum lembaga selambat-lambatnya setahun sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, Bank Indonesia membantu bank-bank yang bersangkutan termasuk pemegang saham yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Keuangan untuk melakukan persiapanpersiapan yang diperlukan dalam rangka mewujudkan penyesuaian yang diwajibkan. Sebelum berakhirnya batas waktu, ketujuh bank pemerintah telah dapat melakukan penyesuaian sehingga untuk selanjutnya nama resmi yang digunakan oleh bank-bank tersebut adalah :



1.      Bank Negara Indonesia (Persero)
2.      Bank Bumi Daya (Persero)
3.      Bank Rakyat Indonesia (Persero)
4.      Bank Dagang Negara (Persero)
5.      Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero)
6.      Bank Pembangunan Indonesia (Persero)
7.      Bank Tabungan Negara (Persero).



Dengan telah ditempatkannya semua bank pemerintah sebagai bank umum yang kedudukannya sama dengan bank-bank umum lainnya, serta yang berlandaskan hanya pada satu undang-undang, kebijakan Bank Indonesia yang khusus ditujukan kepada bank pemerintah pada masa yang lalu, sejak saat itu ditiadakan. Perlakuan Bank Indonesia terhadap bank pemerintah baik dalam pemberlakuan ketentuan perbankan maupun dalam pelaksanaan pengawasan dan pembinaan bank disamakan dengan perlakuan terhadap bank-bank umum lainnya.
Terkait dengan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah) pada tanggal 30 Oktober 1992 diterbitkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1990 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank yang memilih kegiatan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan sebagai bank konvensional, demikian pula sebaliknya.
Kegiatan operasional bank berdasarkan prinsip bagi hasil baik dalam penghimpunan dan penanaman dana maupun dalam pemberian jasa perbankan lainnya serta dalam hal risiko usaha pada dasarnya sama dengan bank konvensional. Yang membedakan adalah bahwa imbalan semua transaksi perbankan tidak didasarkan pada system bunga melainkan atas dasar prinsip jual beli sebagaimana digariskan dalam syariat (hukum) Islam.

Otoritas pengawasan 1983-1990
Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Di bidang pengawasan dan pembinaan bank-bank, hingga tahun 1990 Bank Indonesia tetap berpijak pada Undang-undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Perbankan. Tugas tersebut tetap melekat bahkan dipertegas dalam Undangundang Perbankan baru, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1990. Dalam Bab I pasal 29 sampai dengan 37 Undang-undang No. 7 Tahun 1990, peran Bank Indonesia mencakup fungsi regulasi, pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan, serta penerapan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan bank.
Selain dalam pasal-pasal tersebut, terdapat pula kewenangan Bank Indonesia dalam mengatur dan mengawasi hal-hal yang dilakukan bank seperti dalam pasal 7 tentang kegiatan dalam valuta asing, penyertaan modal, serta bertindak sebagai pendiri dan pengurusan dana pensiun. Perbedaan fundamental dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia berdasarkan kedua undang-undang tersebut adalah dari segi pendekatan dan pola pelaksanaan dengan menerapkan kebijakan deregulasi. Khusus untuk bank-bank pemerintah dan bank pembangunan daerah pengawasannya juga dilakukan oleh BPK/BPKP. Sedangkan bank-bank yang sudah go public pengawasannya dilakukan oleh Bank Indonesia dan Bapepam.

Nilai kurs sejak tahun 1990 – 1997
Sejak tahun 1990 sampai dengan minggu ke dua Juli 1997 nilai tukar rupiah cukup stabil dan wajar. Pada akhir Desember 1990 kurs antara rupiah dengan dolar Amerika Serikat (kurs tengah) adalah Rp 1.901,00 dan kurs ini mengalami penyesuaian menjadi Rp 2.383,00 pada akhir tahun 1996. kestabilan nilai kurs rupiah berlanjut sampai dengan 11 Juli 1997 dimana nilai kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat Rp. 2.440,00. Namun dalam minggu kedua Juli 1977 gonjangan terhadap nilai kurs rupiah mulai dirasakan, yang bermula dari jatuhnya mata Uang Bath Thailand. Pemerintah pada tanggal 14 Agustus 1997 melepas bata-batas kurs intervensi.
Dengan pelepasan batas-batas kurs intervensi, pemerintah meninggalkan sistem tukar upiah yang mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang murni sehingga nilai tukar kurs rupiah ditentukan sepenuhnya oleh kekuatan pasar. Walaupun demikian, pemerintah dapat mempengaruhi nilai kurs rupiah baik secara langsung maupun secara tidak langsung, yaitu melalui kebijaksaan fiskal dan moneter.

Perbankan Indonesia di 2008-2009
Perjalanan perekonomian Indonesia di tahun 2008 penuh dengan tantangan dan kendala yang harus dihadapi, sehingga memaksa para pelaku usaha dan pengusaha dari berbagai sektor merevisi target pendapatan, pertumbuhan dan rencana bisnis investasinya. Pasalnya siapa yang menduga, krisis keuangan global terjadi di tahun ini dan akibatnya dampak tersebut mulai dirasakan negara berkembang, khususnya Indonesia.
Meskipun dampak dirasakan belum separah yang dialami negara maju, dimana sumber tsunaminya berasal. Namun ada khwatiran dari pelaku ekonomi dan pengusaha dalam negeri. Pasalnya banyak ramalan dan analisis dari pengamat ekonomi memperkirakan dampak dari resesi ekonomi dunia akan terasa pada tahun depan, sehingga memaksa pemerintah harus bekerja keras memutar otak mengantisipasi dampak lebih buruk ditahun mendatang.
Krisis ekonomi global mulai ditandai dengan runtuhnya lembaga keuangan terbesar di dunia asal Amerika Lehman Brother, kredit macet sektor perumahan (subprime mortgage) dan disusul kebangkrutan industri otomotifnya, seperti General Motor dan Ford. Musibah yang menimpa di Amerika juga serentak dirasakan negara-negara maju Eropa. Maka tak ayal, negara maju saja tidak bisa mengelak dari krisis keuangan global dan apalagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ternyata betul saja, dampak krisis sempat memberikan sentimen buruk bagi lembaga keuangan bank dan non bank di Indonesia. Pasar modal dalam negeri juga sempat terkoreksi pada level yang paling buruk dampak menularnya kejatuhan pasar bursa di Wall Street. Terkoreksinya pasar bursa dalam negeri sempat membuat otoritas bursa menutup (suspensi) pasar dalam waktu dua hari.