Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis yang berarti
“bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa
manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan
masyarakat sebagai keseluruhan. Dapat dipahami pula utilarisme sangat
menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya suatu
perbuatan.
Kita dapat menyimpulkan bahwa utilitarisme aturan membatasi
diri dari pada justifikasi aturan-aturan moral. Dengan demikian mereka memang
dapat menghindari kesulitan dari utilitarisme perbuatan
Teori ini menjadi terkenal sejak disistematisasikan oleh
filsuf Inggris bernama John Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul On Liberty.
Sesuai dengan namanya utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa
latinnya utilis yang artinya “bermanfaat”. Teori ini menekankan pada perbuatan
yang menghasilkan manfaat, tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang
paling banyak membawa kebahagiaan bagi banyak orang.
Dikaitkan dengan demokrasi tampaknya teori ini erat
kaitannya. Dalam pemilihan suara pada Pemilihan Umum (PEMILU) suatu negara yang
menganut asas demokrasi, calon presiden dengan suara terbanyak adalah presiden
yang memenangkan pemilu. Meski pun perbandingannya hanya 49% dengan 51% tetap
saja calon yang memperoleh suara terbanyak akan menang. Demikian pula dengan
implementasi utilitarisme
Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti
utilitarisme secara teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang
dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang
terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing
gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang
menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh.
Penganut utilitarisme akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh.
Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu
saja? Kalau menurut teori ini YA.
Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika
manusia? Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam
perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi ras mau pun etnis. Kasus
diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun 1997
tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka
didiskriminasikan karena mereka minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka.
Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat.
Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada
pula hal yang melegakan. Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis
dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan
atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan
adalah angka-angka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan
jumlah terbanyak bagi manfaat terbanyak.
Di lain pihak kesulitan itu tidak boleh dilebih-lebihkan. Dalam teori memang sulit sekali memperbandingkan nilai-nilai yang berlainan secara kualitatif. Namun dalam praktek hidup sehari-hari biasanya kita kurang lebih dapat menentukannya, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Dalam praktek hidup sehari-hari kurang lebih kita dapat menentukan mana yang akan membawa akibat baik lebih besar (dalam arti lebih menyenangkan): pergi menonton film, makan sate ayam bersama teman, atau baca-baca di rumah sambil mendengarkan musik yang kita senangi. Mana yang baik dan mana yang buruk (dilihat dari kuantitas dan kualitas rasa senangnya) akan sangat tergantung situasi. Pergi menonton film bisa sangat menyenangkan, tetapi kalau untuk itu harus pergi dengan naik sepeda di tengah hujan lebat ya lebih baik tinggal di rumah untuk baca-baca sambil mendengarkan musik yang kita senangi.
Ciri Umum
Kalau mengingat pengertian di atas, maka ciri umum aliran
ini adalah bersifat kritis, rasional, teleologis, dan universal. Utilatarisme
sebagai teori etika normatif merupakan suatu teori yang kritis, karena menolak
untuk taat terhadap norma-norma atau peraturan moral yang berlaku begitu saja
dan sebaliknya menuntut agar diperlihatkan mengapa sesuatu itu tidak boleh atau
diwajibkan. Teori etika ini tidak mengakui abahwa ada tindakan-tindakan yang
pada dirinya sendiri wajib untuk dilakukan atau yang pada dirinya sendiri
dilarang. Pada dirinya sendiri semua tindakan ataupun peraturan itu netral.
Yang memberi nilai moral kepada tindakan-tindakan atau peraturan tersebut
adalah akibat-akibatnya. Sebagai contoh misalnya, para penganut aliran ini
tidak dapat menerima bahwa hubungan seks di luar perkawinan itu bagaimanapun
juga pada dirinya sendiri tidak pernah dapat dibenarkan secara moral. Mereka
akan bertanya, mengapa tidak boleh melakukan hubungan seks di luar perkawinan;
mereka menuntut agar diberikan alasan-alasan yang masuk akal. Karena tuntutan
ini, Utilitarisme juga berciri umum rasional. Bagi kaum Utilitarian, hubungan
seks di luar perkawinan itu secara moral tidak dapat dibenarkan baru kalau ada
alasan yang masuk akal, yakni bila setelah dipertimbangkan, dalam kenyataan,
akibat-akibat buruk dari hubungan seks di luar perkawinan lebih banyak daripada
akibat baiknya. Akan tetapi kalau setelah dipertimbangkan ternyata bahwa akibat
baik dari hubungan seks di luar perkawinan itu lebih banyak daripada akibat
buruknya, maka, menurut kaum Utilitarian, hubungan seks di luar perkawinan
justru wajib dilaksanakan.
Karena sifat kritis dan rasional yang seperti itu,
Utilitarisme dalam kalangan etika tradisional dialami sebagai kritik yang
membahayakan. Daripada menerima aturan-aturan tradisional begitu saja,
Utilitarisme menuntut agar peraturan-peraturan yang ada dipertang-gungjawabkan
berdasarkan manfaatnya bagi banyak orang, dan apabila pertanggungjawaban itu
tidak dapat dilakukan, peraturan tersebut supaya dilepaskan saja.
Utilitarisme juga bersifat teleologis, karena benar-salahnya
suatu tindakan secara moral dikaitkan dengan tujuan (telos) yang mau dicapai
atau dengan memperhitungkan apakah akibat baik tindakan tersebut lebih banyak
daripada akibat buruknya. Hal ini berbeda sekali dengan etika normatif yang
bersifat deontologis. Seperti masihh akan kita lihat kemudian, bagi para penganut
etika deontologis ada tindakan-tindakan tertentu yang pada dirinya sendiri
tidak pernah dapat dibenarkan secara moral, entah apa pun akibat tindakan
tersebut. Bagi mereka norma-norma moral selalu wajib diataati begitu saja tanpa
mempertimbangkan apakah akibatnya menguntungkan atau merugikan. Dalam kasus di
atas, bagi para penganut etika deontologis, melakukan hubungan seks di luar
perkawinan bagaimanapun juga secara moral tidak pernah dapat dibenarkan. Mereka
secara prinsipial menolak bahwa tujuan menentukan kualitas moral, maka tidak
dapat dipersoalkan lagi dari segi akibat tindakan.
Utilitarisme juga bersifat universal dalam arti teori etika
ini memperhatikan kepentingan umum dan bukan hanya kepentingan pribadi si
pelaku moral sebagaimana dikemukakan oleh Egoisme Etis. Dibandingkan dengan
Egoisme Etis maupun Etika Pengembangan Diri Aristoteles yang masih belum bebas
dari ciri egoistik, Utilitarisme menekankan agar pertimbangan mengenai akibat
baik atau manfaat yang akan diperoleh dari suatu pilihan tindakan itu, sedapat
mungkin, sejauh dapat diperhitungkan, memperhatikan semua orang yang terlibat
dalam tindakan tersebut atau terkenai olehnya. Suatu
tindakan secara moral benar dan wajib dilakukan kalau akibat
tindakan tersebut membawa keuntungan yang semakin besar bagi semakin banyak
orang (the greatest good to the greatest number). Dengan demikian Utilitarisme
mengatasi egoisme dan membenarkan sikap-sikap sosial. Utilitarisme membenarkan
bahwa pengorbanan kepentingan atau nikmatnya sendiri demi orang lain dapat
merupakan tindakan yang paling tinggi nilai moralnya.
Berkaitan dengan tekanan pada memperhatikan kepentingan umum
dan membenarkan adanya pengorbanan kepentingan dan nikmat pribadi demi
kepentingan dan nikmat orang banyak, Utilitarisme sebagai dasar berargumentasi
seringkalai, sadar atau tidak sadar, dijadikan acuan dalam banyak pengambilan
kebijakan sosial-politik. Kalau kita melakukan alanisis sosial untuk mengkaji
mengapa pemerintah memutuskan untuk menggusur sebuah perkampungan demi pembuatan
jalan atau demi pengaturan tata kota dan pembangan kawasan bisnis, alasan yang
dikemukakan biasanya bersifat utilitarian. Kerugian yang diderita oleh
sekelompok orang yang terkena penggusuran dapat dibenarkan demi keuntungan bagi
semakin banyak orang. Karena prinsip utilitarian banyak digunakan dalam
pengambilan kebijakan soail-politik dan dalam kehidupan bersama sehari-hari,
maka kiranya baik bahwa prinsip ini kita analisis secara cermat dan kita
tanggapi secara kritis.
3. Macam
Biasanya dibedakan dua macam teori etika normatif
Utilitarisme, yakni Utilitarisme Tindakan dan Utilitarisme Peraturan.
a. Utilitarisme Tindakan
Utilitarisme sebagaimana lazimnya dipahami adalah
Utilitarisme Tindakan. Kaidah dasarnya dapat dirumuskan sebagai berikut:
"Bertindaklah sedemikian rupa sehingga setiap tindakanmu itu menghasilkan
akibat-akibat baik yang lebih besar di dunia daripada akibat buruknya".
Bagi penganut aliran ini, pertanyaan pokok yang perlu diajukan dalam
mempertimbangkan suatu tindakan tertentu adalah: "Apakah tindakanku yang
tertentu ini, pada situasi seperti ini, kalau memperhatikan semua pihak yang
tersangkut, akan membawa akibat baik yang lebih besar daripada akibat
buruknya?" Bagi Utilitarisme Tindakan tidak ada peraturan umum yang dengan
sendirinya berlaku; setiap tindakan mesti dipertimbangkan akibatnya.
Utilitarisme Tindakan sudah banyak dikritik dan hampir tidak
ada yang membelanya lagi. Alasanyannya adalah: dalam praktek orang tidak setiap
kali membuat pertimbangan baru untuk melihat akibat-akibat dari setiap
tindakan. Sulit dibayangkan bahwa orang dapat hidup tanpa peraturan sama
sekali. Setiap pernyataan moral mengandung unsur bahwa pada prinsipnya dapat
berlaku untuk tindakan-tindakan lain yang sejenis walaupun akibatnya mungkin
tidak persis sama. Utilitarisme tindakan dengan mudah dapat dipakai untuk
membenarkan tindakan yang melanggar hukum dengan alasan bahwa akibatnya membawa
keuntungan bagi lebih banyak orang daripada akibat buruknya. Misalnya
berdasarkan prinsip itu seseorang dapat dibenarkan untuk mencuri satu kaleng
roti dari supermarket Hero untuk diberikan kepada beberapa orang gelandangan
yang kelaparan. Kalau hanya memperhitungkan akibatnya, kerugian yang diderita
oleh supermarket Hero akan tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan
memberi makan pada beberapa orang gelandangan yang kelaparan.
Selain itu, seperti pernah ditunjukkan oleh Ross dan
Butler,[1] kalau hanya akibat dari tindakan saja yang diperhitungkan tanpa
memperhitungkan apakah sesuai atau tidak dengan peraturan atau norma yang
berlaku, maka orang akan sampai pada suatu kesimpulan yang aneh. Sebagai
contoh, misalnya tindakan A membawa akibat yang persis sama dengan tindakan B.
Akan tetapi tindakan B melibatkan suatu pelanggaran peraturan (misalnya dengan
berlaku tidak adil atau tidak jujur), sedangkan yang A tidak. Kalau dasar
pertimbangannya hanya berdasarkan akibat dari tindakan saja, padahal akibat
tindakan A persis sama dengan tindakan B, maka logis orang secara moral bebas
memilih A atau B. Dalam praktek sudah jelas bahwa tindakan A lah yang benar dan
B salah.
b. Utilitarisme Peraturan
Untuk mengatasi kelemahan pokok di atas, maka kemudian
dikembangkanlah macam etika Utilitarian yang kedua, yakni Utilitarisme
Peraturan. Dalam teori ini yang diperhitungkan bukan lagi akibat baik dan buruk
dari masing-masing tindakan sendiri, melainkan dari peraturan umum yang
mendasari tindakan itu. Jadi yang dipersoalkan sekarang adalah akibat-akibat
baik dan buruk dari suatu peraturan kalau berlaku umum. Kaidah dasarnya
sekarang berbunyi: "Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang
penerapannya menghasilkan akibat baik yang lebih besar di dunia ini daripada
akibat buruknya."
Kalau kaidah ini diterapkan pada kasus pencurian satu kaleng
roti di supermarket Hero tadi menjadi nyata bahwa tindakan itu tidak dapat
dibenarkan secara moral. Hal ini menjadi jelas dari kenyataan bahwa pernyataan
"Mengambil barang dari toko besar tanpa bayar boleh dilakukan asal untuk
orang miskin" tidak dapat kita jadikan sebagai kaidah atau peraturan yang
berlaku umum. Sebab kalau pernyataan itu kita jadikan kaidah yang berlaku umum,
dapat dipastikan bahwa akibat buruknya justru lebih besar daripada akibat
baiknya. Demikianlah Utilitarisme Peraturan jauh lebih keras dan lebih dapat
diterima daripada Utilitarisme Tindakan.
4. Tanggapan kritis
a. Kesulitan menentukan nilai suatu akibat
Karena Utilitarisme mengkaitkan moralitas suatu tindakan
dengan jumlah akibat baik yang melebihi akibat buruknya, maka pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana nilai suatu akibat itu dapat ditentukan.
Pertanyaan ini harus dapat dijawab kalau kaidah utilitarisme mau dipakai. Kalau
kita mau memakai kelebihan akibat baik terhadap akibat buruk sebagai tolok ukur
moral, maka kita harus tahu apa arti "lebih besar" dalam hubungan
dengan nilai. Bagaimana cara menghitung lebih besarnya akibat-akibat baik atau
buruk? Kalau kita membatasi diri pada pembandingan akibat tindakan dari segi
nilai kenikmatan (hedonistik) saja rupanya perbandingan kuantitas sudah menghadapi
kesulitan. Rasa nikmat ada bermacam-macam dan sulit dibandingkan: kenikmatan
karena memuaskan nafsu makan, nafsu seks, nafsu marah, nafsu balas dendam;
kenikmatan tidur, kenikmatan merokok, naik gunung, berenang dsb. Kesulitan
menjadi lebih besar lagi kalau masih harus membandingkan besar-kecilnya akibat
baik dan akibat buruk yang ditimbulkannya. Sebagai contoh misalnya, sulit
sekali untuk menentukan mana dari kemungkinan tindakan berikut yang paling
besar membawa kenikmatan sebagai
akibatnya: pergi menonton film, makan sate ayam bersama teman, baca-baca sambil
mendengarkan musik yang kita senangi, mendengarkan siaran wayang sambil main
gaple?
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, Jeremy Bentham
(1748-1832), seorang tokoh Utilitarian yang hedonis dari Inggris, misalnya
mencoba untuk memperhitungkan "nilai senang: dari pelbagi kegiatan manusia
guna dapat diperbandingkan jumlahnya satu sama lain. Ia mengemukan ada tujuh
dimensi yang perlu diperhatikan dalam perhitungan (hedonic calculus) tersebut,
yakni intensitasnya, lamanya berlangsung, kepastiannya, kedekatannya dengan
kecondongan pribadi, kesuburannya, kemurniannya, dan keluasannya. Hasil
perhitungan semacam itu tidak meyakinkan. Maka tokoh Utilitarian lain, John
Stuart Mill (1806-1873) dalam karangannya yang terkenal Utilitarianism (yang
pertama-tama merumuskan teori Utilitarisme secara khusus) mengakui bahwa usaha
semacam itu tidak dapat berhasil. Ia memasukkan unsur baru ke dalam
perhitungan, yaitu unsur "kualitas" di samping unsur "kuantitas".
Akan tetapi, dengan berbuat demikian suatu "perhitungan" tepat
tentang jumlah akibat baik dan akibat buruk menjadi sama sekali tidak mungkin
lagi.
Di lain pihak kesulitan itu tidak boleh dilebih-lebihkan.
Dalam teori memang sulit sekali memperbandingkan nilai-nilai yang berlainan
secara kualitatif. Namun dalam praktek hidup sehari-hari biasanya kita kurang
lebih dapat menentukannya, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.
Dalam praktek hidup sehari-hari kurang lebih kita dapat menentukan mana yang akan
membawa akibat baik lebih besar (dalam arti lebih menyenangkan): pergi menonton
film, makan sate ayam bersama teman, atau baca-baca di rumah sambil
mendengarkan musik yang kita senangi. Mana yang baik dan mana yang buruk
(dilihat dari kuantitas dan kualitas rasa senangnya) akan sangat tergantung
situasi. Pergi menonton film bisa sangat menyenangkan, tetapi kalau untuk itu
harus pergi dengan naik sepeda di tengah hujan lebat ya lebih baik tinggal di
rumah untuk baca-baca sambil mendengarkan musik yang kita senangi.
c. Bertentangan dengan prinsip keadilan
Keberatan paling pokok yang biasa dikemukakan terhadap teori
etika Utilitarisme adalah bahwa kaidah dasar yang dikemukakan oleh teori
tersebut dapat bertentangan dengan prinsip keadilan. Keberatan ini adalah
keberatan yang secara kritis dapat dikemukakan terhadap penentuan kebijakan
pemerintah atau penguasa yang mengambil prinsip atau kaidah utilitarian sebagai
pokok acuan untuk berargumentasi. Sebagai contoh misalnya dalam suatu proyek
pembuatan jalan tol, keluarga Sukri terkena gusur. Ia tidak mau membongkar
rumahnya dan berpindah tempat karena ia merasa diperlakukan tidak adil. Uang
ganti rugi yang ia peroleh jauh dari mencukupi untuk dapat membeli rumah yang
kurang lebih sama di tempat lain. Ia juga merasa jengkel karena ini sudah kedua
kalinya ia terkena gusur. Dulu sebelum membeli tanah dan membangun rumah di
tempat itu ia sudah bertanya pada dinas tatakota tentang rencana pembangunan
kota, dan ia mendapat jawaban bahwa daerah itu aman. Ternyata, baru beberapa
tahun sudah ada perubahan.
Setelah perundingan yang alot, akhirnya pemerintah daerah
memberikan ultimatum pada Sukri bahwa bagaimanapun juga proyek harus jalan, dan
kalau pada tanggal tertentu Sukri dan keluarganya tidak pindah, maka rumahnya
akan dibuldozer dengan paksa. Dalam membela tindakannya, pihak pemda selalu
menyatakan bahwa Sukri terlalu mendahulukan kepentingannya sendiri dan tidak
mempedulikan kepentingan umum. Pemda sebenarnya tidak mau merugikan Sukri,
tetapi tidak ada jalan lain. Sukri semestinya sadar bahwa kerugian yang dia
tanggung tidaklah seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang akan dapat
dinikmati oleh orang banyak dengan adanya jalan tol di daerah itu.
Berdasarkan prinsip Utilitarian, penalaran aparat pemda di
atas logis dan dapat dibenarkan. Akan tetapi prinsip tersebut bertentangan
dengan prinsip keadilan, karena menurut prinsip keadilan setiap manusia sebagai
seorang pribadi (persona) itu bernilai dan merupakan tujuan dalam dirinya
sendiri. Manusia sebagai seorang pribadi tidak pernah boleh dikorbankan demi
manusia lain. Ia mempunyai hak asasi yang sama dengan manusia lain. Ini berarti
bahwa dalam kasus di atas, Sukri sebagai seorang pribadi mempunyai hak-hak
asasi yang harus dihormati pula oleh pihak pemda. Menjadikan dia dan
keluarganya sebagai "tumbal" yang harus dikorbankan demi
kesejahteraan banyak orang lain, secara moral tidak dapat diterima.
Tidak memadainya prinsip Utilitarian sebagai prinsip moral
karena bertentangan dengan prinsip keadilan juga nampak dalam kasus lain
sebagai berikut: Menjelang Pemilu biasanya situasi agak rawan dan adanya
"gang" atau kelompok-kelompok "gali" yang merampok dan
membuat kerusuhan akan mudah ditunggangi oleh mereka yang sengaja mau
mengacaukan keadaan. Maka demi menjaga ketenangan masyarakat dan mengamankan
Pemilu diadakanlah operasi penertiban keamanan masyarakat. Orang-orang yang
dicurigai sebagai "gali" dan perusuh langsung diculik dan dijebloskan
ke dalam penjara atau malah ada yang secara misterius hilang dan tahu-tahu
sudah diketemukan sebagai mayat di suatu tempat. Operasi tersebut secara
pragmatik-utilitarian sepertinya menguntungkan bagi masyarakat. Banyak anggota
masyarakat merasa senang karena mereka tidak diganggu lagi oleh para
"gali" tersebut. Yang dirugikan hanyalah orang-orang yang dituduh
ataupun dicap sebagai "gali".Apa yang secara pragmatik-utilitarian
nampaknya menguntungkan banyak orang itu sebenarnya secara moral tidak dapat
dibenarkan, karena bertentangan dengan prinsip keadilan. Orang yang dituduh "gali"
pun adalah manusia yang memiliki hak-hak asasi yang tidak dapat dilanggar
begitu saja. Kendati jumlah mereka relatif sedikit dibandingkan dengan
keseluruhan penduduk, dan di antara mereka memang mungkin ada yang
sungguh-sungguh jahat, secara hukum mereka memiliki hak yang disebut
"praduga tak bersalah", artinya sebelum terbukti melalui proses
pengadilan bahwa seseorang itu bersalah, orang tidak boleh langsung menjatuhkan
hukuman kepada mereka; apalagi hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatan
mereka. Bahwa banyak orang diuntungkan oleh tindakan menghukum orang-orang itu,
secara moral tidak dengan sendirinya membenarkan tindakan tersebut. Tambahan
pula, secara hukum pun tindakan macam itu dalam jangka panjang dapat merugikan,
karena kepastian hukum lalu digoyahkan. Masyarakat akan dicengkam oleh rasa
takut terhadap kesewenangan penguasa yang sepertinya dapat bertindak di luar
jalur hukum bila dipertimbangkan bahwa kepentingan umum menuntutnya.